"Setuju saya, karena sudah ada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang lebih lengkap. Jadi yang di RUU KUHP didrop saja," kata peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM, Hifdzil Alim kepada detikcom, Selasa (29/5/2018).
Hifdzil khawatir, dimasukkannya pasal tindak pidana korupsi dalam pidana KUHP akan membuat aturan menjadi tumpang tindih. Hal itu dinilai juga bisa membuat posisi KPK melemah dalam pemberantasan korupsi.
Senada dengan Hifdzil, peneliti PUKAT UGM lainnya, Zainal Arifin menyebut kekhawatiran KPK sangat mungkin terjadi. Sebab akan ada perbedaan pendapat mana yang masuk pidana umum dan mana yang masuk pidana khusus.
"Sangat mungkin, karena ketika mamaknai hukum umum itu dianggap sebagai kejahatan umum, maka sifat kekhususannya bisa hilang. Misalnya dalam UU MD3, kalau anggota DPR melanggar itu, itu harus izin MKD, kecuali ketika dia melanggar pidana khusus, nanti kan ada perdebatan korupsi pidana umum atau khusus," kata Zainal.
"Jadi saran saya sebelum keluar memutuskan apakah dia akan masuk atau tidak, hal yang paling utama harusnya mereka duduk bersama. KPK duduk bersama sama pembentuk undang-undang, lalu berikan penafsiaran yang lebih kuat, supaya tidak menimbulkan perdebatan lagi," ujarnya.
Dia juga meminta DPR tak buru-buru mengesahkan RUU KUHP yang ditargetkan pada Agustus nanti. Menurutnya, perdebatan harus dituntaskan terlebih dulu sebelum DPR mengetok palu.
Sebelumnya, KPK menyurati Jokowi karena menilai masuknya pasal-pasal tindak pidana khusus, termasuk korupsi, ke dalam RKUHP malah memperlemah pemberantasan korupsi. KPK berharap pengesahan RUU KUHP tidak melemahkan pemberantasan korupsi, karena masih terdapat sejumlah pasal tindak pidana korupsi di RUU KUHP.
"KPK sudah mengirimkan surat pada Presiden juga agar pasal-pasal tipikor dikeluarkan dari KUHP tersebut," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada detikcom, Selasa (29/5/2018).






Tidak ada komentar:
Posting Komentar