Jumat, 05 Oktober 2018

Pepohonan Ditebang dan Hewan Diburu di Hutan Perbatasan

Berita - Di hutan, kami mendengar suara gergaji mesin, melihat pepohonan ditebang, dan menyaksikan burung-burung ditangkapi. Bagaimana sebenarnya kondisi kelestarian alam di kawasan terdalam Indonesia?

"Dulu cenderawasih pun ada di sini, burung kuning juga ada. Tapi semenjak dibongkar itu jalan, burungnya terbang ke gunung-gunung," kata Gustav (50), warga asli Kampung Holtekamp, Distrik Muara Tami, Kota Jaya pura , Rabu (5/9/2018).

Sore itu saya dan Gustav sedang mengobrol di pinggir Pantai Holtekamp. Dia memperbaiki jaring ikan dan saya memandangi proyek pembangunan Jembatan Hamadi-Holtekamp yang nampak di tengah Teluk Youtefa. Gustav mengenang kondisi zaman dulu saat pembangunan belum menyentuh kawasan perbatasan. Boro-boro jembatan di atas Teluk Youtefa, persoalan keamanan jiwa saja belum jelas untuk orang-orang era dulu. Namun kini suasana sudah lebih aman. Jalan-jalan mulai dibangun sampai ke gerbang perbatasan di Skouw, 60 km jauhnya dari pusat kota.

Sekarang, tiga kampung Skouw di kawasan perbatasan dapat diakses dari Kota Jayapura dengan mobil dalam waktu perjalanan sekitar 1,5 jam hingga 2 jam. Aspal mantap memudahkan lalu-lintas. Berdasarkan data Distrik, jalanan telah dibangun secara bertahap sejak dulu, dimulai sejak pembukaan jalan dari Koya Timur ke Skouw dengan pengaspalan pada 1997. Koya Timur adalah kelurahan yang terbentuk tahun 1984, dulunya merupakan Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Koya Timur yang diisi orang-orang dari Pulau Jawa. Jarak antara Koya Timur ke kampung Skouw sekitar 10 km.  

Manusia menjadi lebih mudah bergerak dari satu tempat ke tempat lain berkat jalanan yang baik. Namun ternyata, sedikit banyak ada yang harus dikorbankan dalam pembangunan. Orang-orang mulai datang membawa gergaji mesin (senso/chainsaw) merambah hutan-hutan.

"Sekarang hutan ini sudah penuh dengan orang-orang yang pakai senso. Binatang-binatang itu sudah pergi jauh," kata Mama Set (48), warga asli Skouw Mabo.

Hewan-hewan belum sepenuhnya sirna. Di hutan yang masuk di kawasan Skouw, masih ada babi, rusa, hingga kuskus. "Kuskus sekarang keluarnya pakai musim, kalau dulu tidak begitu. Dulu setiap hari juga ada kuskus. Sekarang sepertinya sudah mulai hilang-hilang begitu kan. Kayu-kayu besar sudah habis, binatang tidak aman, pergi," tutur Mama Set.

Meski binatang masih ada, namun penampakan mereka sudah makin jarang saja. Soal aktivitas berburu, Mama Set mengatakan, itu hanya dilakukan bila ada acara adat dan diizinkan oleh kepala adat (ondoafi).

Pepohonan Ditebang dan Hewan Diburu di Hutan PerbatasanPepohonan ditebang. (Muhammad Ridho/detikcom)

Soal kuskus, hewan berkantung yang dilindungi ini biasa dijual di pinggir jalan aspal kawasan Kelurahan Koya Barat. Kami bahkan ditawari oleh salah seorang penjual untuk membuat janji supaya kuskus bisa kami ambil keesokan harinya. Kuskus yang dijualnya dikatakan merupakan hasil perburuan di daerah Arso, Kabupaten Keerom.

"Saya biasa pasang di tempat jualan saya ini kalau saya ada kuskusnya," kata dia.

Tanah-tanah di kawasan ini pada umumnya adalah tanah adat. Peran kepala adat (ondoafi) sangat sentral dalam menentukan izin aktivitas di hutan dan jalannya pembangunan.

Kami juga mampir ke kampung tapal batas lainnya di sini, yakni Kampung Mosso. Kami mengunjungi mata air panas, atau dalam bahasa Mosso disebut sebagai 'catta'. Jaraknya jauh dari permukiman.

Pepohonan Ditebang dan Hewan Diburu di Hutan PerbatasanKemoceng dari bulu unggas yang tercecer di hutan. (Danu Damarjati/detikcom)

Perlu berjalan kaki menempuh jarak 8 km menembus hutan untuk mencapai mata air panas Mosso. Karena medan yang harus ditempuh berkelok, menyeberang sungai, naik, dan turun bukit, maka jaraknya bisa molor hingga 15 km.

Di hutan Mosso, nampak papan-papan kayu sudah dipasang di lantai untuk memudahkan mobilisasi orang-orang proyek, yakni buruh penebang pohon. Entah berapa banyak pohon yang harus ditebang untuk membuat jalur jalan dari papan kayu ini. Dengan papan ini, sepeda motor bisa lebih mudah melintas meski tetap harus ekstra hati-hati.

Ketika memasuki hutan, kami mendengar mesin gergaji menderu-deru. Benar saja, di tengah perjalan kami menemui beberapa titik penebangan pohon. Iklim mikro yang semula teduh seketika berubah menjadi panas saat sampai di titik tebangan.

Pepohonan Ditebang dan Hewan Diburu di Hutan PerbatasanUnggas yang diburu di hutan kawasan perbatasan RI-Papua Nugini. (Danu Damarjati/detikcom)

Gelondong-gelondong kayu melintang di mana-mana. Lantai hutan yang lembab kini menjadi kering. Duri-duri tajam mampu menusuk kaki siapa saja yang tak memakai alas kaki. Maka semua buruh di sini memakai sepatu bot.

Ada tenda tempat menginap para buruh tak jauh dari lokasi penebangan. Empat orang sedang menyalakan api untuk memasak. Mereka berbaik hati memberi kami air minum.

Salah seorang dari mereka mengangkat hewan mirip ayam. Hewan itu berbulu hitam, di dahinya terdapat bulu pula. Namun lehernya sudah disembelih. Hewan ini sudah mati.

Pepohonan Ditebang dan Hewan Diburu di Hutan PerbatasanIni unggas yang ditemukan di hutan kawasan perbatasan RI-Papua Nugini. (Danu Damarjati/detikcom)

"Ayam hutan, maleo," kata salah satu dari mereka.

Ada lagi burung lain yang berukuran lebih kecil. Warnanya abu-abu, salah satu kakinya masih terikat tali. Burung yang satu ini masih hidup.

"Derkuku," kata pria yang memegang burung itu.

Pepohonan Ditebang dan Hewan Diburu di Hutan PerbatasanKata mereka, ini derkuku. (Danu Damarjati/detikcom)

Hewan-hewan itu didapat di sini, di tengah hutan Mosso. Kami juga melihat jerat-jerat hewan dipasang di sudut-sudut hutan. Bentuknya berupa tali dikaitkan ke dahan yang berdiri.

Ada pula jejak-jejak kaki binatang di sini. Personel Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Satgas Pamtas) yang mengawal kami ke mata air panas menjelaskan, yang saya lihat adalah jejak kaki kijang. Kadang babi juga nampak di sini. Di pepohonan, masih sering dijumpai burung rangkong Papua, nuri, hingga kakatua.

Kepala Distrik Muara Tami, Supriyanto, menjelaskan mata air panas Kampung Mosso di tengah hutan ini akan dikembangkan sebagai destinasi pariwisata. Mengingat akses menuju mata air panas ini harus melewati hutan, aspek kelestarian alam perlu diperhatikan bila pembangunan pariwisata di sini dilakukan.

"Jika ini nanti bisa dikelola dengan baik menjadi wahana khusus, penginapan, sampai tempat pemandian yang layak, khusus keluarga dan umum, bahkan ada hotel-hotel dan segala macam. Harapannya kita ke depan ini (mata air panas Kampung Mosso) sebagai penutup rangkaian perjalanan tur wisata di Muara Tami, endingnya di mata air panas. Setelah letih, mereka bisa kembali bugar dengan air panas," tutur Kepala Distrik Muara Tami, Supriyanto, kepada detikcom, Rabu (5/9/2018)


Baca Juga : Cara mudah menang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar